Uti


Saya mengenal beliau sejak lahir. Beliau adalah perpanjangan tangan dari ibu saya.

Ibu saya adalah wanita karir dan saya adalah putri pertamanya. Praktis ibu saya hanya bisa full menjaga saya selama masa cuti kehamilannya. Beruntunglah ibu saya adalah anak pertama dari keluarga besar dan pada awal masa pernikahannya beliau masih tinggal di rumah orangtuanya. Saat itu baru ibu saya yang menikah.

Saya adalah cucu pertama dari sebuah keluarga besar sehingga kasih sayang rasanya tak habis saya dapatkan walaupun ibu saya bekerja pada siang hari. Kakek, nenek, dan adik2 ibu saya memberikan perhatian lebih karena saya adalah yang pertama, sebagai cucu dan keponakan.

Dari seluruhnya yang merawat saya di siang hari, tentu saja nenek saya punya andil yang cukup besar. Uti, begitu saya biasa memanggilnya, membantu ibu saya merawat saya sejak saya masih kecil hingga saya kelas 6 SD.

Ketika saya masih TK sampai SD kelas 4, saya selalu pulang ke rumah uti yang letaknya di belakang SD saya. Beliau biasanya menyambut segerombolan cucu-cucunya yang kebetulan bersekolah di sekitar situ-situ saja. Mengganti baju kami, melipat, lalu membuatkan makan siang.

Uti seperti kebanyakan nenek pada umumnya, sayang kepada cucunya, royal, dan pandai memasak. Bagiku tidak ada koki sehebat utiku. Kelebihan lain adalah utiku tidak cerewet seperti banyak dikeluhkan oleh beberapa temanku tentang neneknya. Walaupun terkadang galak, namun bicaranya tidak merepet.

Setiap lebaran, kami selalu menyempatkan diri ke tempat uti. Itu adalah salah satu agenda wajib. Yang kami tunggu adalah opor ayam dan sambal goreng ati buatan uti. Beliau khusus memasakkan satu panci besar untuk anak-anak dan cucunya selama h-1 lebaran agar kami tidak kehabisan hidangan khusus lebaran yang rasanya tiada duanya itu.

Titik balik itu terjadi pada 2008, ketika beliau terkena stroke. Sejak saat Uti berhenti memasak hidangan lebaran. Ngomong menjadi tidak jelas. Kami kasihan karena beliau terkadang frustasi dengan hilangnya kemampuan berkomunikasi sehingga membuat beliau tidak terlalu banyak berbicara. Menghabiskan hari tuanya dengan lebih banyak diam, menonton TV, serta menunggu anak dan cucunya mengunjunginya. Ada binar bahagia ketika cucunya yang pertama ini, yang kuliah di jogja dan jarang menengoknya datang hanya untuk mampir minum, mampir menunggu yang lamanya tidak sampai sehari.

Uti, orang yang nrimo, sebuah sifat yang njawani. Selain itu juga lomo. Di balik semua keterbatasan, beliau masih sering berbagi. Dengan uang pensiunan yang tidak besar itu, beliau masih suka memberi mbok-mbok tukang jamu, anak tetangga sebelah rumah, cucu-cucunya.


18 Juni 2012, tugasnya di dunia telah tunai. Uti dipanggil menghadap Yang Kuasa. Uti bukan kalah oleh sakit yang menderanya, namun Tuhan menghendaki jalan terbaik, kematian.

Kami ikhlas bahwa ini adalah jalan yang terbaik. Uti dilepaskan dari segala yang menyakitinya, segala yang membelenggunya. Kami berduka. Cucu-cucu beliau yang masih kecil menangis. Mereka yang masih belum terlalu mengerti makna dari sebuah kematian, perpisahan raga, namun bukan jiwa. Yang mereka tahu adalah mereka tak akan menemukan Uti mereka pada hari-hari mereka selanjutnya.

Lebaran kali ini akan terasa berbeda, begitu juga rasa lontong opornya

Komentar

Postingan Populer